Ir. BIasworo Adisuyanto Aka, MM
Surabaya, 15 Agustus 2013
Kebanggaan dan perasaan
puas meredam emosi seorang pelatih senam, ketika atlet hasil binaannya mampu
menampilkan rangkaian gerakan secara sempurna pada alat lantai ataupun alat
lainnya. Tanpa sadar pelatih tersebut bersorak dan meluapkan kegembiraannya
melalui lompatan-lompatan kecil disertai tepuk tangan yang tak kunjung henti,
serta terdengar suara halus yang hampir tidak terdengar…… yes.. Kegembiraan pelatih
semakin meluap ketika perolehan nilai yang dimunculkan wasit juga sudah memenuhi
standard penilaian. Walau nilai yang
dihasilkan masih terhitung belum memenuhi kreteria sebagai pemenang, namun
pelatih tersebut tetap merasakan puas dan memberikan aplos kepada atletnya. Baginya, keberhasilan pembinaan tidak diukur
hanya dari perolehan medali semata. Namun, kesempurnaan gerak dan disiplin
atlet dalam melakukan rangkaian gerakan yang menjadikan faktor utama
keberhasilan seorang pelatih. Kesempurnaan
gerak atletnya dapat dilihat selain dari kerapihan gerak yang dilakukan, juga
dari nilai execution juri B (pengurangan nilai dari kesalahan gerak yang
dilakukan seorang atlet) sangat kecil. Ini menandakan ada kesesuaian antara
pembinaan latihan yang dilakukan oleh seorang pelatih dengan seorang wasit
sebagai penentu perolehan nilai.
Situasi seperti itu sering terjadi di berbagai kejuaraan senam,
baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional. Penilaian tentang
keberhasilan dalam sebuah kejuaraan senam timbul dua sisi perbedaan yang sangat
bertentangan. Disisi seorang pelatih senam, orientasi keberhasilan selalu
diikur dari tingkat capaian kesempurnaan atletnya dalam melakukan aktivitas
rangkaian geran pada kejuaraan, tidak terlalu mengutamakan seberapa banyak
atletnya memperoleh medali. Sedangkan pada sisi lain, khususnya bagi seorang
atlet bahwa orientasi keberhasilan selalu diukur hanya dari perolehan medali.
Kekecewaan akan melanda dirinya, ketika predikat sebagai juara satu, dua, atau
tiga tidak mempu dia raih dengan baik. Baginya, perolehan medali adalah
segalanya dan merupakan tolok ukur berhasil tidaknya dalam mengikuti proses latihan.
Kedua pendapat yang saling bertolak belakang tersebut bila disimak
mempunyai sisi kebenaran. Bagaimana tidak, wajar saja bila pelatih dan atlet
mempunyai orientasi berbeda dalam mengukur sebuah keberhasilan mereka tinjau
dari sudut pandang mereka sendiri. Atlet menganggap bahwa pelatihnya sudah
mempunyai kepercayaan yang tinggi atas kemampuannya, sehingga diperkenankan
untuk mengikuti kejuaraan tersebut. Seorang atlet tidak akan mengukur sejauh mana
tingkatan kompetisi yang dia ikuti, dia hanya percaya dan patuh kepada segala
perintah pelatihnya. Keharusan atlet dalam
mengikuti kejuaraan tersebut oleh pelatihnya, akan memunculkan pemahaman pada diri atletnya
bahwa dia sudah memiliki kesetaraan dengan lawan yang akan dihadapinya saat dikejuaraan.
Namun kenyataan yang terjadi dilapangan sangatlah berbeda, atlet merasakan
penampilan lawannya jauh di atas
kemampuan dirinya. Tidak hanya itu yang ia lihat, tingkat usia dan kedewasaan lawan
tandingnyapun sangat jauh berbeda di atasnya. Timbul sebuah pertanyaan yang ia
tidak ia lontarkan kepada pelatihnya, mungkinkah ia akan mampu memenangkan
kejuaraan ini ? sementara lawan tanding dalam kejuaraan senam ini rata-rata
berada di atasnya.
Pelatih menganggap bahwa keikutsertaan atletnya dalam berbagai
kejuaraan, akan berdampak baik terhadap perkembangan prestasi atletnya. Semakin
banyak atletnya mengikuti berbagai kejuaraan, akan menambah pengalaman berlomba
bagi atletnya. Pengalaman yang diperoleh atletnya diberbagai kejuaraan
tersebut, dianggap akan selalu berujung pada peningkatan prestasi. Kenyataannya
tidaklah demikian, semakin banyak atlet merasa selalu kecewa disetiap kejuaraan
yang ia ikuti akan berdampak kepada penurunan prestasi. Keinginan menang dalam
berbagai kejuaraan yang diikuti oleh seorang atlet adalah wajar. Kekalahan
terus menerus yang ia dapatkan dari berbagai kejuaraan, tentunya akan membawa
perasaan atlet tersebut ketitik jenuh dalam berlatih. Atlet akan menganggap
bahwa proses latihan yang ia ikuti tidak
bermanfaat sama sekali. Motivasi berlatih dari diri atlet tersebut akan
melemah, dan semakin lama berdampak keinginan untuk beralih cabang olahraga.
Hal buruk yang sering terjadi pada diri atlet tersebut, terkadang
tidak tertangkap oleh pelatihnya. Namun ketika atletnya sedikit demi sedikit
hilang dan mengundurkan diri dari proses latihan rutin, hanya kekecewaan besar
yang ia rasakan. Atlet yang begitu lama ia bina dengan harapan akan menjadi
kebanggaan dirinya dan semua orang, pupus begitu saja.
Seorang pelatih tidak mampu merubah kondisi yang memprihatinkan
ini. Semua ini akibat minimnya pelaksanaan kejuaraan berjenjang di tanah air
tercinta ini. Jangankan untuk melaksanakan kejuaraan antar kelompok umur, pelaksanaan kejuaraan
nasional saja tidak mampu secara rutin dilaksanakan oleh induk organisasi senam.
Faktor utama minimnya pelaksanaan kejuaraan tersebut diakibatkan dari
terbatasnya dana organisasi. Sumber dana tergantung dari Pemerintah, pemerintah
daerah atau Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Pelaksanaan sebuah
kejuaraan untuk cabang olahraga senam selama ini selalu dianggap menghabiskan
dana yang cukup besar. Sehingga, ada rasa kekawatiran yang mendalam bagi induk
organisasi cabang olahraga mulai dari tingkat daerah sampai ke tingkat nasional
untuk melaksanakan kejuaraan.
Situasi seperti ini berdampak kepada menurunnya motivasi klub-klub
senam untuk berkiprah. Banyak klub senam enggan untuk meneruskan pembinaan, dan
berujung pembubaran klub. Oleh sebab itu, perlu menjadi kajian bersama dalam
mewujudkan sebuah even perlombaan senam. Kecenderungan anggaran terbesar yang
harus diemban panitia penyelenggara dalam even perlombaan adalah pengadaan akomodasi
dan konsumsi peserta, honor dan transport juri dan wasit, honor panitia, serta
pengadaan perlengkapan (medali, sewa gedung, dll). Tidak jarang dalam pelaksanaan
sebuah kejuaraan senam, membutuhkan dana penyelenggaraan yang tidak kurang dari
600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), apalagi bila perlombaan tersebut berskala
nasional. Hal ini yang menjadikan salah
satu indikator jarangnya terwujudnya pelaksanaan sebuah kejuaraan senam.
Kondisi kebutuhan dana penyelenggaraan kejuaraan
senam tersebut sebenarnya bila ditanggung secara bersama akan dapat meringankan
beban panitia pelaksana. Sehingga kejuaraan senam dapat terselenggara secara
baik setiap tahun. Kebersamaan ini dengan lebih mengedepankan kepentingan
pembinaan dan peningkatan prestasi atlet senam. Artinya, bahwa anggaran biaya
itu sebaiknya ditompang secara bersama oleh seluruh peserta, dengan demikian,
panitia penyelenggara menjadi ringan.